Tidak lama kemudian, pembantunya pun pergi dan dia kembali ke garasi lalu membukakan pintu mobil dan berkata.
"Aku suruh pembantuku pergi agar dia tidak melihat kami dalam keadaan seperti ini. Aku nggak mau orang lain tahu tentang ini."
Lia pun lalu menuntun aku masuk ke rumahnya tanpa melepaskan penutup mata dan belenggu di tanganku. Setelah dia menempatkan aku pada sebuah kamar ruangan dan memintakan untuk duduk beristirahat sejenak.
"Aku mau ambil tas dulu dimobil ya. Kamu tunggu aja dulu disini."
Dia pun lalu berjalan pergi. Sekembalinya, Lia lalu melepaskan bandana yang penutup mataku, begitu pula dengan borgolnya. Aku mengucek-ngucek kedua bola mataku karena penglihatan yang buram selah tertutup beberapa saat. Lia lalu berkata.
"Permainan baru akan dimulai dan sekarang aku akan mengikatmu. Jangan coba-coba kabur ya karena kalau iya, kamu akan merasakan hukumannya. Ayo sekarang lepas baju dan celanamu".
Aku menurut saja sambil menunggu dengan berdebar-debar. Tidak semua kutanggalkan, hanya celana dalam yang masih menempel di badanku. Kumemohon padanya untuk tidak memintaku melepaskan CD ini. Dia pun setuju namun kemudian dia berkata.
"Sekarang CD boleh tetap di tubuhmu tapi aku tidak janji apakah akan tetap terpakai sampai permainan ini selesai nantinya."
Kegairahan yang sangat kurasakan sehingga penisku berdiri tegak dan keras. Aku sudah tak sabar menunggu untuk diikat olehnya. Lia lalu membuka lemari pakaian yang ada di ruangan tersebut dan kulihat dia mengambil sesuatu. Tak bisa terlihat dengan jelas apa yang diambilnya karena terhalang oleh tubuhnya. Dia lalu menuju kamar mandi dan beberapa saat kemudian keluar dan kulihat dia sudah berganti pakaian. Dia sekarang menggunakan gaun malam kimono, berwarna hitam dan tipis terbuat dari sutera dan tembus pandang. Terlihat jelas dari balik gaun malam yang anggun celana dalam yang menempel ditubuhnya. Kedua payudaranya sudah tidak lagi tertutup oleh BH.
"Wau, cantik, anggun dan manis sekali kamu pakai itu. Maaf ya, kenapa nggak sekalian aja celana dalamnya dilepas?" gurauku.
"Dasar lelaki, brengsek dan kurang ajar banget sih loe. Tunggu aja nanti." Lia terlihat sebal dan emosi mendengar gurauanku.
Sambil menahan emosi, dia lalu kembali ke lemari dan mengambil sesuatu. Terlihat beberapa selendang berwarna hitam, putih, biru dan merah tergenggam di tangannya. Selendang-selendang yang panjang-panjang dan terbuat dari kain sutera yang halus dan tipis.
"Ayo, permainan sudah di mulai. Letakkan kedua tanganmu di belakang!" terdengar emosinya.
Akupun menurut dan meletakkan kedua tanganku dibelakang badan. Terasa kulit jari-jarinya yang halus memegang ke dua tangan di belakang. Dirapatkannya kedua tanganku lalu selendang berwarna putih di lilitkan dengan kuat berputar berkali-kali mengelilingi pergelangan tanganku. Sekali-kali ditariknya kedua ujung selendang berlawan arah menguatkan ikatan itu. Setengah selendang sudah dililitkannya dipergelangan tanganku dan kemudian ia pindahkan lilitan selendang itu diantara rongga pergelanganku. Lilitan ini untuk mengunci ikatan agar tidak mudah dilepaskan. Setelah beberapa lilitan, ujung simpul kedua selendang itu ditarik berlawan arah memperkeras lilitan yang sudah terasa kuat dan lalu ia ikatankan sekencang-kencang.
"Aduh, kuat sekali. Jangan terlalu keras dong nanti peredaran darahku bisa terganggu." tuturku pada Lia.
Dia tidak memperdulikan perkataanku tadi. Untuk tidak memungkinkan ke dua ujung simpul di buka olehku, dia lalu menyatukan ke dua ujung simpul selendang itu dengan lakban.
"Bagaimana rasanya terikat, ini baru permulaan. Aku masih mempunyai beberapa selendang dan tali-tali yang belum kupakaikan padamu" katanya.
Kurasakan emosinya yang belum mereda. Kemudian diambilnya selendang kedua berwarna merah dan mengikatkannya di dua siku lenganku. Hal yang sama di lakukannya ketika Lia mengikat kedua pergelangan tangaku.
"Aduh, sakit sekali. Tolong jangan terlalu keras" sapa aku ke Lia.
Seperti sebelumnya, Lia tidak menghiraukan perkataanku dan terus menyelesaikan ikatannya. Keadaan terikat ini membuatku semakin bergairah dan terangsang. Penisku terasa sangat keras bagikan tembok menara.
"Eeh kamu kelihatannya enjoy sekali ya diikat. Awas ya kalau spermamu sampai keluar sebelum aku mau. Kamu harus tahan itu, kalau tidak aku bisa sangat marah dan resikonya bisa bahaya.." katanya sambil mengejekku.
Dia lalu kembali lagi ke lemari dan sekarang mengambil celana dalamnya serta di masukkannya ke mulutku. Di tekannya CD itu dalam-dalam ke rongga hingga menyentuh mulutku sehingga terasa sesak dan penuh sekali. Setelah itu, di ambilnya bandana yang tadi digunakan untuk menutup mataku dan dililitkan beberapa kali menutupi mulutku yang tersumbat celana dalamnya. Di ujung bandana itu dililitkan lakban memutar beberapa kali untuk memastikan bandana itu tidak terlepas. Ugh, ugh, ugh.. suara mulutku yang tersumbat terdengar mengatakan sesuatu padanya.
"Kamu ngomong apa sih? Kalau mau ngomong yang jelas dong.." sapanya mengejekku.
"Aku belum selesai dengan kamu. Kakimu masih bebas dan tak mungkin kubiarkan."
Diambilnya selendang hitam dan di lilitkanya ke kaki ku seperti yang di lakukan pada pergelangan tanganku. Setelah selesai dengan kaki, dia lalu melanjutkan mengikat ke dua lututku dengan selendang lainnya. Ikatan-ikatannya terasa sangat kuat. Tidak puas, dia kemudian mengambil tali dari dalam tas dan di ikatkannya di antara ke dua rongga kakiku dan lalu menariknya ke atas hingga menyentuh tanganku. Sakit sekali rasanya ketika kaki dan tanganku disatukan. Ia lalu lilitkannya tali itu beberapa kali dan sebelum mengikat ujung tali, ia tarik tali itu berlawanan arah sehingga ikatan terasa semakin kuat. Ugh, ugh, ugh.. teriakku menahan rasa sakit. Namun tidak tahu mengapa diriku begitu menyukai keadaan ini. Aku semakin bergairah dan terangsang.
"Itu kan yang kamu katakan posisi hogtie" katanya sambil tersenyum mengejek kepadaku.
Aku hanya dapat menggangguk menjawab sapaan Lia.
"Apa yang harus kulakukan ke kamu sekarang yah, biar kupikirkan dulu deh sambil istirahat" sapanya.
"Kamu pernah bilang kalau kamu biasanya berusaha melepaskan ikatan yang membelenggumu, sekarang coba buktikan. Aku mau lihat. Aku beri waktu 30 menit."
Lia pun lalu keluar kamar dan membiarkan diriku dalam keadaan terikat. Aku berusaha keras untuk melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu tangan dan kakiku. Beberapa kali kucoba namun sia-sia. Ikatannya sangat sulit kujangkau dengan jari-jari tanganku. Lia mengintip dan mengawasi dari sela-sela pintu kamar yang sengaja tidak di tutupnya. Lia kembali masuk ke dalam kamar pada saat aku sedang berusaha melepaskan ikatan untuk yang kesekian kalinya.
"Silahkan saja kalau bisa. Ayo buktikan kalau memang kamu bisa. Ayo coba.." sapanya.
Ia mengambil gunting dan kemudian berjalan menghampiri diriku lalu menggunting celana dalamku dan melepaskannya. Sekarang aku telanjang bulat tanpa ada satu helai bahanpun yang menempel.
"Tadi aku minta kamu menahan ereksimu dan aku senang kamu bisa melakukannya. Sekarang aku mau kamu mengeluarkannya. Ayo, ayo keluarkan spermamu.." pintanya dengan suaranya yang mengejek.
Aku tidak bisa berereksi walaupun aku sangat bergairah dan terangsang. Setelah beberapa saat tidak keluar, ia lalu menempelkan tangan halusnya di penisku dan kemudian mengocok-ngocok beberapa kali. Tak lama kemudian spermaku pun berhamburan di sekitar tempatku terbaring. Semprotan sperma yang sangat kencang kurasakan. Sebagian dari hemburan itu mengenai muka Lia.
"Ha ha ha ha.." terdengarnya tertawa puas.
Setelah itu kulihat paras mukanya berubah menjadi benci dan marah. Aku tak tahu apa sebabnya.
"Kamu laki-laki memang sialan. Aku benci sama kaum semua."
Plak, plak, plak.. terdengar suara tamparan Lia ke arah bokongku. Di ulanginya lagi tamparan tersebut berkali-kali. Aku tidak dapat berkata apa-apa dan membiarkan saja kejadian itu. Aku berteriak menahan sakit namun sia-sia belaka karena mulutku masih tersumpal.
"Mau coba minta tolong? Ayo silahkan kalau kamu mampu dan bisa. Silahkan, ayo teriak sekencang-kencangnya.." bentaknya.
Setelah itu Lia pun berhenti dan kulihat parasnya berubah menjadi sedih seperti sedang memikirkan nasib sial yang baru menimpanya. Tak kudari air mataku menetes merasa kasihan dan iba terhadapnya. Tak lama kemudian ia meninggalkanku sendiri di dalam ruangan.
Seperti sebelumnya, akupun berusaha melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu diriku. Untuk kesekian kalinya aku gagal. Lama rasanya aku menunggunya. 30 menit sudah berlalu namun rasanya seperti beberapa jam. Lia pun kembali masuk ke ruangan namun sekarang raut mukanya sudah berubah cerah.
"Apakah tangan dan kaki kamu terasa sakit?" tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk.
Lanjutnya dia berkata, "Baik, kalau begitu akan aku buka semua ikatan itu."
Dibukanya ikatan yang membelenggu kakiku dan kemudian lututku dan terakhir di siku lenganku. Dia tidak melepaskan ikatan di pergelangan tanganku dan sumpal yang membelenggu mulutku. Lia memintaku untuk duduk beristirahat. Lia lalu berjalan ke arah tas dan mengeluarkan isinya.
"Aku hanya memberikan waktu sebentar untukmu beristirahat dan sekarang akan aku pasangkan tali-tali ini di tubuhmu sebanyak mungkin. Sengaja tak kulepaskan selendang pengikat tanganmu karena aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak kuharapkan."
Dia pun kemudian berjalan mendekatiku. Dengan tangan masih terikat, Lia memintaku untuk berdiri dan berjalan ke ruangan lainnya. Dengan tuntunannya, akhirnya aku sampai di ruangan yang letaknya bersebelahan dengan ruang sebelumnya. Aku heran ketika melihat ada besi seperti huruf U terpasang di langit-langit kamar itu disertai tali panjang menggelantung di besi itu. Aku pun bertanya-tanya pada diriku untuk apa besi yang tergantung di langit-langit ruangan.
Tanpa kusadari, Lia mendorong dan menjatuhkan tubuhku ke lantai dan mulai mengikat kaki, lutut paha dan siku tanganku dengan tali-tali tersebut. Di ikatkannya tali-tali tersebut sekuat-kuatnya dan pada ujung simpul tali di satukan serta di lakban agar tidak mudah di lepaskan olehku. Selendang pengikat tanganku tak dilepaskannya malah Lia mengikatkan seutas tali lagi dengan kuat pada tanganku yang sudah terikat. Selanjutnya, diambilnya tali yang sangat panjang kemudian mengikatkan tali tersebut ke seluruh tubuhku mulai dari pundak hingga ke ujung kaki. Tanganku sekarang sudah menyatu dengan badanku. Tidak ada ruang gerak dan terasa amat sesak. Dia lalu membisikkanku.
"Apa yang kamu dapat lakukan sekarang? Kamu sudah menjadi milikku dan aku bebas melakukan apa saja yang aku mau. Kamu tidak bisa menolak. Yang hanya kamu bisa lakukan adalah pasrah dan menerima. Aku senang dengan keadaan ini."
Bersambung . . . .
No comments:
Post a Comment