Monday, 15 July 2013

Tante Yani - 1










Jakarta! Ya, akhirnya jadi juga aku ke Jakarta. Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang sedesaku di Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku memang orang desa. Badanku tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16 tahun, bongsor berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST (Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km utara Purwokerto. Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap. Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12 dan 10 tahun. Boleh dikatakan aku ini orangnya ?kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri dari hanya belasan rumah yang terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi kebun-kebun, aku jadi jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi kehidupanku kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan wanita.




Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang muridnya 100% lelaki. Pembaca yang budiman, kisah yang akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun lalu. Pengalaman nyata ini aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak kelasku, satu-satunya orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia sering menulis untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal yang hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di internet. Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan. Jadi panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja. Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung.




Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh dari stasiun ini. Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.




Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu. Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton. Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri. Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV.




Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang disediakan Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.? *** Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan.




Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar.




Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku. Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular. Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru? itu. Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi.




Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada. Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan.




Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita, tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain kalau memandang teman-teman cewe. Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana tubuhnya ?




Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku. Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau. Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.?




Terima kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya! Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa.




Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari. Keesokkan harinya ada kejadian




penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu To! Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar.




Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik, sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya, beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku ?praktek?.




Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang, engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku. ?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku. Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe bule di Penthouse tadi. Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi.




Ah aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan, lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku, susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau ?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku. Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali.




Pinggul yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang. Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut. Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku.




Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan. *** Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget.




Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ?? Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar.




Bersambung . . . . . .

No comments:

Post a Comment